(Sebuah Ringkasan)
Prof. Dr. Herman. J. Waluyo, M. Pd.
Pelopor: Sutardji Calzoum Bachri, Supardi djoko Damono, Goenawan Mohamad, Rendra, Linus Suryadi A.G., Abdul Hadi W.M., Darmanto Yt., Emha Najib, Hammid Jabbar, Eka Budianta, dan F. Rahardi.
Kencenderungan melakukan penyimpangan tema dan bahasa nampaknya begitu kuat pada penyair-penyair mutakhir. Tema puisi yang biasanya dikaitkan dengan hal yang sublime, yang halus, yang luhur, yang menghindari kata tabu, akhir-akhir ini melepaskan ikatan itu. Banyak penyimpangan yang dilakukan penyair sebagai ujud ekspresi kreativitasnya. Bentuk tipografi konfensional juga banyak ditinggalkan, sekalipun masih banyak juga penyair yang mempertahankan tipografi konfensional.
Dami N. Toda mengibaratkan Chairil Anwar sebagai mata kanan dan Sutadji Calzoum Bachri sebagai mata kiri. Suatu paduan yang tidak dapat dipidahkan dan bersifat saling mengisi.
Ke-9 penyimpangan bahasa oleh Geoffrey Leech itu adalah:
- Penyimpangan lekslikal, maksudnya penyimpangan makna kata
- Penyimpangan semantik, artinya kebanyakan puisi menggunakan bahasa yang bermakna konotatif.
- Penyimpangan fonologis, artinya sering digunakan kata-kata dengan bunyi yang menyimpang untuk memperoleh efek kepaduan bunyi
- Penyimpangan morfologis, artinya penyimpangan dalam bentukan kata (proses morfologis).
- Penyimpangan sintaksis, artinya penyimpangan dalam pembentukan kalimat secara konvensional.
- Penyimpangan dialek, artinya pengambilan dialek asal penyair sehingga kata-kata bahasa daerah muncul.
- Penyimpangan register, artinya penggunaan ragam bahasa tertentu untuk ungapan perasaan khas.
- Penyimpangan histories, artinya pemakaian kata-kata yang sudah tidak umum dipakai dalam bahasa modern.
- Penyimpangan grafologis, artinya secara sengaja menyimpang dari sruktur linguistic Indonesia yang baku.
1. Mantra dan Puisi Konkret ( Sutardji Calzoum Bachri)
Puisi-puisi Sutardji dihidupkannya kembali mantra Melayu dalam puisi Indonesia modern.
- Mantra berarti menggunakan kata0kata atau bunyi-bunyi yang berulang untuk menciptakan daya magis, susunan kata yang mempunyai rama atau ritma dengan pemilihan kata-kata yang bersifat sublime sehingga memiliki kekuatan gaib.Mantra biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang.
“ Kredo Puisi” ( Calzoum Bachri)
Mantra merupakan wujud pengucapan jiwanya yang pas. Bebas bereksperimen dengan kata-kata yang secara umum tidak bermakna namun mengandung rima dan ritma serta kekuatan gaib.
Contoh:
Lima percik mawar/ tujuh sayap merpati/ sesayat langit perih/ dicabik puncak gunung/ sebelas duri sepi/ dalam dupa rupa/ tiga menyan luka/ mengasapi duka. Puah!/ kau jadi Kau!/ Kasihku.
( Huss Puss ; 20)
- Puisi Kongkret, yakni puisi yang mementingkan bentuk grafis atau tatawajah yang disusun mirip dengan gambar. Ia ingin memperlihatkan kemanisan susunan kata-kata dan baris serta bait yang menyerupai gambar seperti: segitiga, huruf Z, kerucut, falat, belah ketupat, segi empat, dan sebagainya.Sutardjo Calzoum Bachri banyak melakukan penyimpanan bahasa. Pergantian baris puisi mestinya harus diakhiri oleh satu kata penuh dan tidak oleh satu suku kata sebab antara baris satu dengan baris berikutnya sudah membentuk kesatuan sintatik yang berbeda.
Contoh:
Ngiau! Kucing dalam darah ia menderas
Lewat dia mengalir ngilu ngiau dia ber-
Gegas lewat dalam aortaku dalam rimba
Darahku dia besar dia bukan harimau bu-
Kan singa bukan hyena bukan loepar di-
Macam kucing bukan kucing tapi kucing
Ngiau dia lapar dia menambah rimba af-
Rikaku dengan cakarnya dengan amuknya
(Huss Puss;56)
- Pemutar balikkan makna, logika, dan kata-kata
Sang penyair mampu memutarbalikkan makna kata, logika, dan juga pengulangan kata-kata itu.Pemutarbalikkan dan pembuatan variasi kata-kata itu begitu cerdas dan bermakna. Permainan tanda baca begitu bervariasi dan bermakan dan bukan sekedar untuk membantu bentuk grafisnya sehingga tercipta gambar puisi konkret yang dikehendaki, namun mewakili makna tertentu ( seperti Tuhan dikaitkan dengan kucing, Yesus dikaitan dengan roti) tadinya terkesan sebagai ungkapan kurang ajar ( tidak logika). Namun setelah dipikirkan hal itu mewakili kegemasan dalam mencari rahasia Tuhan. Kata-kata yang dibalik dapat ditafsirkan sebagai usaha penyair mengatakan makna sebaliknya, namun dapat juga berarti permainan kata-kata untuk menunjukkan kegelisahan dan kesepiannya.
2. Penolakkan Tabu Bahasa ( Rendra, Linus, Rahardi, dan Darmanto)
Tabuh bahasa menunjukkan longgarnya nilai moral dalam diri penyair. Hal ini oleh penyair ditafsirkan sudah dalam taraf sangat mendongkol memberi kritik atau mencari rahasia tuhan.
Contoh Sutarji dalam O, Amuk, Kapak:
Karena kamar sudah bertelanjang berdiri/ beribu mat dari dinding-dinding ini ketawa lebar/ sia-sia-sia saja/ kau dan aku/ meski kulipat kau dalam dadaku/ meski kaulipas aku dalam pahamu.
(“ Malam Pengantin”, hal 50)
Linus mengunakan bahasa Jawa yang kuat dalam mengunggkapkan gelora perasaannya.
Contoh:
Kurang percaya dengan kejadian semalam/ sekali lagi ingin saya yakinkan/ Dengan jari telunjuk kanan/ saya raba anu saya/ O, Allah Gusti nyumun ngapura/ Tidak salah lagi, jemblong/ anu saya sudah bolong/ Saya sudah merasa kosong
(Pengakuan Pariyem; 70)
Saya kenal betul sama hasyat lelaki/ yang timbul dari gerak- geriknya/ Pendeknya, dia kasmaran sama saya/ Selagi saya membersihkan kamarnya/ Tiba-tiba saya dirtenggut dari belakang/ O, Allah, saya kaget setengah mati, mas/ sekujur tubuh saya digerayakinya/ pipi, bibir, penthil saya dingok pula/ Paha saya diraba-raba/ diraba-raba paha saya/ Tapi saya pasrah saja, kok/ saya lega lila.
3. Imajis, Parable, Atavis(Goenawan Muhamad dan Sapardi Djoko Damono)
Parabel ( cerita perumpamaan/ perumpamaan) yang menunjukkan gejala atavisme ( gejala penciptaan mitos baru berdasarkan mitos yang telah ada). Sapardi Djoko Damono menunjukkan parable dengan gejala atavisme yang didalam parabelnya dilahirkan suatu nilai baru yang relavan dengan jamanya.
Contoh: Kisah “Damar Wulan Minakjinggo” ditampilkan dalam suasana modern oleh Goenawna Muhamad dalam puisi “Asmarandana”, Sapardi Djoko Damono dengan “ Perahu Kertas” mengunggkapkan kisah “Nabi Nuh”.
4. Gaya Prosais (Taufik Ismail, Sapardi Djoko Damon)
Adalah puisi yang menyampaikan dengan gaya biasa. Gaya prosaic mengalami kemajuan tahun 66-an dipelopori Taufik Ismail dan Sapardi Djoko Damono. Puisi tersebut sukar dibedakan kecuali larik-lariknya setiap baris terjadi enyamemen tidak terdapat majas tidak terdapat ritma dan rima.
Contoh : “Tukang Rambutan Pada Istrinya”.
5. Kritik Sosial Terhadap Ketidak Adilan ( Rendra, Linus, Rahardi)
Kebanyakan kritik social yang dikemukakan pada puisi Indonesia mutakhir adalah masalah ketidak adilan. Istilahnya “ Ketidakadilan” itu berkaitan dengan berbagai bidang kehidupan. Dalam bidang pendidikan, social, ekonomi, politik dan sebagainya.
a. Pengakuan Pariyem. Di satu pihak puisi ini menampilkan sikap wanita Jaw yang pasrah, namun dilain pihak justru kepasrahannya itu merupakan kritik keras yang tersembunyi terhadap perlakuan yang tidak adil masyarakat Jawa terhadap seorang pembantu rumah tangga semacam Pariyem
Contoh : ( hal 225)
b. Soempah WTS dan Catatan Harian Sang Koruptor. Kritik-kritik social yang disampaikan Rendra, kritik social Rahardi ini jauh bersifat detail dan operasional. Karyanya bukan sekedar gambaran global tentang kepincangan social, namun detail peristiwa tentang terjadinya kepincangan itu.
Contoh : “ Tentang Rakyat”
Tuhan/ menciptakan aurat dan syahwat/ pabrik tekstil/ menciptakan/ kutang dan/ cawat.
Dan rakyat/ menciptakan kesemputan/ buat/ pejabat korup/ agar bebas/ melapas cawat/ dan mengumbar/ syawat.
6. Puisi Lugu ( Yudistira, Sides Sudyarto, dan Remy Silado)
Puisi Indonesia terdapat kecenderungan menciptakan puisi lugu, yakni puisi yang mengunakan teknik pengungkapan ide secara polos, dengan kata-kata serebral, dan kalimat-kalimat yang biasa atau polos, tidak dipakai tidak memakai majas
Contoh: “Karena Jajang” karya Arifin C. Noer
Tuhan/ saya tidak duit/ buat beli sugus/ karena jajang/ lagi doyang sugus.
( “Karena Jajang”)
Tuhan/ saya tidak percaya/ jajang ada di selayo/sebab saya pernah tahu/jajang ada di mana/buktinya di kamar ini saja/jajang selalu menyanyi/dan saya tidak selalu berhasil/menemuinya.
sok dia! tuhan.
(Sok Dia!)
Nampak bahwa sajak di atas tanpa perenungan untuk memahaminya.Majas, versifikasi, pemadatan bahasa tidak dipentingkan.